Tag: seIndonesia

Respon terhadap Kasus KLB Polio di Indonesia, Departemen IKFR FK Unair Memberikan Kuliah Singkat Mengenai Polio dalam Perspektif Rehabilitasi untuk Seluruh PPDS dan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Se-IndonesiaRespon terhadap Kasus KLB Polio di Indonesia, Departemen IKFR FK Unair Memberikan Kuliah Singkat Mengenai Polio dalam Perspektif Rehabilitasi untuk Seluruh PPDS dan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Se-Indonesia

Kasus polio sudah lama tidak kita jumpai di Indonesia. Sejak Maret 2014, Indonesia dinyatakan berhasil mengeradikasi polio. Beserta negara lainnya di Asia Tenggara, Indonesia telah menerima sertifikasi bebas polio dari WHO. Namun, pada bulan Oktober lalu, ditemukan kasus lumpuh layu akut dan berhasil diidentifikasi sebagai polio di Kabupaten Pidie, Aceh. Dan pada bulan November 2022 ini, Indonesia resmi melaporkan kasus polio diikuti 15 negara yang sebelumnya telah melapor kasus polio di negaranya. Atas temuan kasus polio tersebut, maka Departemen Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (IKFR FK UNAIR) menyelenggarakan kuliah singkat pada Selasa, 22 November 2022. Kuliah yang dilaksanakan secara daring dengan zoom tersebut diikuti oleh hampir 450 peserta, yang terdiri dari dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitas serta PPDS di seluruh Indonesia.

Acara tersebut dibuka oleh dr. Boy Timor dan dimoderatori oleh Dr. dr. Ratna D. Hariyadi, Sp.K.F.R. Ped (K) selaku dosen senior Departemen IKFR FK Unair. Terdapat 2 materi utama yang disampaikan pada kuliah tersebut, keduanya disampaikan oleh dosen senior dari Departemen IKFR FK Unair. Pada kesempatan ini, Dr. dr. Meisy Andriana Sp.K.F.R., N.M. (K) selaku pemateri pertama memberikan kuliah mengenai surveilans AFP (Acute Flaccid Paralysis).  Dalam kuliahnya, dr. Meisy menyampaikan temuan surveilans cakupan imunisasi polio OPV (Oral Polio Vaccine) di Aceh yang cukup rendah, salah satu penyebabnya adalah karena kondisi pandemi sehingga cakupannya tidak mencapai target Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN). Survei Kemenkes juga memaparkan data di 30 RT di Aceh, 30 anak dari 25 rumah tangga tidak mendapatkan vaksinasi IPV (Inactive Polio Vaccine). Dan temuan kasus polio tersebut didapatkan dari pasien yang belum menerima vaksinansi apapun sehingga Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) nya tidak terpenuhi. 

“Sebagai seorang surveilans, kita harus aktif mencari pasien kurang dari 15 tahun pada kelompok suspek polio, dengan gejala kelumpuhan layu akut kurang dari 2 minggu yang bukan disebabkan oleh rudapaksa atau trauma. Meskipun bukan polio, kita harus mengamati dan kemudian membuktikan dengan pemeriksaan tinja sampai tegak bukan polio.” jelas dr. Meisy kepada seluruh peserta. Dalam kesempatan ini, dr. Meisy juga menyampaikan kategori virus polio, penegakan diagnosisnya serta strategi pencegahan dan pemberantasan kasus polio. Sebagai konsekuensi atas sertifikasi bebas polio di Indonesia, pelaksanakan surveilans AFP (SAFP) harus dilakukan secara konsisten, dimana target penemuan kasus AFP harusnya >2/100.000. Dengan dilaksanakannya SAFP, maka diharapkan mampu mengidentifikasi daerah resiko tinggi, memantau kemajuan program eradikasi polio, dan mempertahankan Indonesia bebas polio.

Dokter Meisy menyampaikan materi Surveilans APF. (Foto oleh Juwita R Salsabil)

Selanjutnya pada materi kedua, Dr. dr. S.M. Mei Wulan Sp.K.F.R. Ped (K) menyampaikan materi dengan tema rehabilitasi poliomyelitis. Sebagai permulaan materi, dr. Mei menyampaikan mengenai virus polio, transmisinya, termasuk bagaimana poliovirus ini dapat kembali ke daerah yang sudah dinyatakan bebas polio tersebut. Dalam presentasinya, dr. Mei menyampaikan jika polio adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan, tapi bisa dicegah. Sebagai dokter yang berkecimpung di bidang rehabilitasi medik, diharapkan dokter Sp. KFR dapat merencanakan program rehabilitasi untuk pasien polio seperti latihan Range of Motion (ROM) dan positioning untuk mencegah kontraktur, di antaranya adalah latihan ROM untuk ekstensi sendi panggul dan lutut, dorsofleksi pergelangan kaki, ekstensi pergelangan tangan, abduksi dan oposisi dari ibu jari. Selain itu, latihan kekuatan otot dan pemberian assistive devices dapat direncanakan untuk menopang otot tubuh yang lemah. Pasien polio dibantu untuk dapat melaksanakan kehidupan sehari-hari  dengan orthosis yang sesuai dengan patologi dan gangguan fungsi yang dialami oleh pasien.

Dokter Mei menyampaikan materi Rehabilitasi Polio. (Foto oleh Juwita R Salsabil)

Rehabilitasi pada kasus polio sangat berperan penting dan bisa dibagi menjadi 3 tahap sesuai dengan perjalanan polio yang diderita oleh pasien. Berdasarkan WHO, di fase akut (6 bulan pertama) pasien akan mengeluh nyeri otot sehingga tujuan rehabilitasi pada fase ini adalah mengurangi nyeri. Fase kedua yaitu fase konvalesens (6 bulan-3 tahun), secara bertahap program rehabilitasi ditujukan untuk proses perbaikan dan penyembuhan dengan pemberian latihan aktivitas fisik untuk mencegah kontraktur dan pemberian orthosis. Dan pada fase terakhir yaitu fase kronis, proses penyembuhan sudah berhenti sehingga dapat dilakukan evaluasi MMT (kekuatan otot) dan bila diperlukan dapat direncanakan operasi untuk  mengoreksi deformitas.

Setelah penyampaian kedua materi, dr. Fatchurrahman Sp. K.F.R. M.S. (K) selaku dosen senior di Departemen IKFR FK Unair yang berpengalaman menemui dan memeriksa pasien polio, menyampaikan jika kasus polio yang terpenting adalah pencegahannya. Sebagai penyakit infeksi, cara pencegahan selain imunisasi yang sangat penting adalah menjaga kebersihan lingkungan dan menerapkan PHBS (Pola Hidup Bersih dan Sehat). “Dahulu,untuk mempermudah menangani pasien polio, kita selalu mengingat triple of two untuk fase-fase di kasus polio. Dua minggu pertama untuk fase akut, maka titik beratnya untuk pasien adalah melakukan bedrest total, tujuannya menjaga motor neuron agar tidak sampai rusak dan mencegah progresivitas atau perburukan gejala. Dua minggu pertama ini sangat menentukan prognosis dan outcome penyakit, tidak diperbolehkan dilakukan intervensi atau latihan yang berat. Kemudian dua selanjutnya adalah dua bulan yang merupakan fase kedua, intervensi yang dilakukan adalah melakukan latihan otot dibantu dengan pemberian orthosis untuk menunjang otot, bisa AFO (Ankle Foot Orthosis), KAFO (Knee Ankle Foot Orthosis), HKAFO (High Knee Ankle Foot Orthosis). Kemudian dua terakhir adalah 2 tahun, yaitu fase menetap setelah 2 tahun, dengan melakukan asessmen ulang nilai kekuatan otot dan terus dilakukan latihan.” jelas dr. Fatchur.

Dokter Fatchur menyampaikan pengalaman dalam menangani pasien polio pada sesi diskusi. (Foto oleh Juwita R. Salsabil)

Di akhir kuliah, peserta diberi kesempatan berdiskusi dengan pemateri yang dimoderatori oleh dr. Ratna. Kuliah yang berjalan 2 jam tersebut, membawa pada kesimpulan bahwa dokter Sp. KFR harus siap menghadapi kasus polio, kaitannya dengan program rehabilitasi jika menemukan kasus polio, disesuaikan dengan fase-fasenya. Penanganan kasus polio ini dimulai dari menemukan serta melaporkan kasus AFP, menegakkan diagnosis polio, sampai pada pemberian latihan dan orthosis harus dapat dikuasai oleh dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi di Indonesia.

Penulis:  Juwita R. Salsabil (PPDS Sp. 1 IKFR FK-Unair)

UU Kesehatan Disahkan, Forum Dekan FK se-Indonesia Komitmen Jaga Kualitas Pendidikan Dokter –UU Kesehatan Disahkan, Forum Dekan FK se-Indonesia Komitmen Jaga Kualitas Pendidikan Dokter –

keterangan foto : (Dua dari kiri) Ketua AIPKI Periode 2022-2024, Prof. Dr. Budi Santoso,dr., Sp.OG, Subsp. F.E.R bersama pengurus AIPKI lain dalam Pertemuan FORDEK – AIPKI di Hermes Palace Hotel, Banda Aceh pada tanggal 21 -23 Juli 2023

Forum Dekan Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (FORDEK-AIPKI) berkomitmen untuk menjaga kualitas pendidikan dokter.

Pernyataan ini menyikapi disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi Undang-Undang (UU) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masa persidangan V, 11 Juli 2023 lalu.

Hal ini disampaikan dalam pertemuan FORDEK-AIPKI 2023 yang terselenggara pada 21-23 Juli 2023 di Banda Aceh.

Ketua AIPKI Periode 2022-2024, Prof. Dr. Budi Santoso,dr., Sp.OG, Subsp. F.E.R mengungkapkan, AIPKI terus berkomitmen mengembangkan pendidikan kedokteran di Indonesia kendati belakangan pola pendidikannya tengah menjadi sorotan dari berbagai pihak.

“Kita sikapi UU Kesehatan yang disahkan DPR terlepas dari pro dan kontranya. Kita sama-sama mengawal dan memastikan sistem pendidikan dokter spesialis, dan sub spesialis tetap berkualitas,” ujarnya ditemui seusai acara, Minggu, 23 Juli 2023.

Dalam forum yang diikuti oleh dekan dari 91 institusi penyelenggara Pendidikan Kedokteran ini juga disepakati untuk pembentukan Kelompok Kerja (Pokja). Pokja ini akan memberikan masukan terhadap rancangan peraturan pemerintah dan menteri, sebagai representasi Asosiasi Institusi Pendidikan Kesehatan.

AIPKI tetap berkomitmen untuk mewujudkan pendidikan kedokteran yang bermartabat, beretika, bermoral, dan profesional.

“Kami akan memastikan agar pendidikan kedokteran di masa mendatang tetap melahirkan dokter berkualitas baik. Yang melayani dengan hati dan rasa belas kasih yang tinggi,” terang Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair) ini.

FORDEK-AIPKI merupakan wadah penting bagi para dekan dan pemimpin institusi pendidikan kedokteran di seluruh Indonesia untuk berkumpul, berbagi pengetahuan, dan berdiskusi mengenai isu-isu kunci dalam bidang pendidikan kedokteran

“AIPKI akan turut berperan aktif dalam mewujudkan pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia,” tukasnya. (ISM)