Saat ini semakin banyak orang tua yang mempertontonkan tayangan kartun kepada anak-anak. Biasanya untuk mengalihkan perhatian agar tidak rewel atau sekadar agar mau makan. Namun sebenarnya, apakah hal ini baik untuk tumbuh kembangnya?
Pakar psikiatri anak dan remaja Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK UNAIR), Dr. Yunias Setiawati, dr., Sp.KJ(K), FISCM menuturkan, anak baru boleh dipertontonkan kartun saat berusia di atas 3 tahun. Hal ini juga berlaku dengan screentime atau paparan waktu bermain gadget.
“Anak dibawah 3 tahun sebaiknya jangan dikenalkan HP terlebih dahulu,” ujarnya dalam tayangan youtube Dokter Unair TV (16/12).
3 tahun pertama merupakan fase tumbuh kembang anak yang sangat penting dan menjadi landasan pada fase berikutnya. Perbanyak bermain karena ini akan melatih sensori integrasi mereka. Meliputi kognitif, emosional, keterampilan berbahasa dan keterampilan emosi.
Aktifitas yang dianjurkan juga disesuaikan dengan usianya. Misalnya di usia 0-18 bulan adalah waktunya perkembangan sensori motor. Permainan yang praktis seperti mencari sumber bunyi, menggerakan tangan maupun kaki bisa dilakukan.
Anak usia 2 tahun adalah waktunya permainan simbolis. Ini merupakan waktu yang tepat untuk mengenalkan huruf dan angka. Kemudian di usia 3-4 tahun saatnya konstruktif play. Artinya permainan yang membangun. Misalnya menyusun lego atau rumah-rumahan. Ini akan mengasah kreatifitasnya. Dan pada anak usia SD, beri permainan roleplay seperti drama.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2016 mengesahkan sebuah pernyataan kebutuhan anak adalah bermain. 80 persen kebutuhan anak adalah bermain juga disampaikan dalam pedoman Global Movement Behaviour.
Dari sini bisa disimpulkan pada dasarnya anak belum perlu diberi paparan gadget. Karena selain tidak memberikan manfaat signifikan, paparan gadget jika berlebihan juga bisa menyebabkan kecanduan, yang dampaknya akan buruk. Tidak hanya fisik namun juga pada bagi perkembangan hingga emosionalnya.
Jika berlebihan terpapar gadget, hormon dopamin dalam sistem limbik akan meningkat. Ini akan mempengaruhi lobus frontalis otak. Akibatnya anak menjadi malas, motibasi berkurang. Akibat fisik, karena terlalu asik bermain gadget hingga malas bergerak, akibatnya anak mengalami obesitas dan terjadi masalah pada mata.
Yang tak kalah penting adalah gangguan emosionalnya. Anak yang kecanduan gadget akan malas bergerak, mereka mudah merasa capek. Sehingga terjadi ganguan emosi, mudah marah, agresif.
“Secara tidak sadar anak jika bermain HP mereka tidak terpapar dengan temannya. Makanya akan timbul loneliness (kesepian) hingga depresi pada anak. Krn dia secara gak sadar klau main hp gak terpapar sama temannya, loneliness, depresi,” ujarnya.
Depresi pada anak berbeda dengan depresi pada orang dewasa. Ini karena anak-anak belum bisa mencurahkan isi hatinya. Jadi mereka cenderung sulit meregulasi emosi. Menjadi mudah ngambek, marah. Tumbuh kembangnya pun tidak sesuai dengan umurnya, “Yang sering datang ke kami, anak lambat bicara ada juga autism. Setelah ditelusuri, anak kurang stimulasi karena sejak kecil sudah kecanduan gadget,” tambahnya.
Paparan gadget diatas 3 tahun juga sebaiknya dimanfaatkan untuk belajar. Misalnya mengenal hewan dan tumbuhan. Dengan catatan dengan pendampingan orang tua dan restriksi. Atau diberikan batas waktu.
Untuk anak usia sekolah sedikit berbeda. Karena tak bisa dipungkiri saat ini pembelajaran pun ditunjang dengan gadget. Jika untuk kebutuhan sekolah, screentime tidak apa-apa. Namun untuk tujuan entertaimen atau hiburan, tentu orang tua harus membatasi.
“Misalkan dibatasi satu hari 30 menit. Kuncinya ada di cara komunikasi orang tua dan anak. Jangan langsung merampas atau melarang. Anak akan bertanya-tanya kenapa ia diperlakukan berbeda dengan anak lain(yang bebas bermain hp). Berikan pengertian, karena kalau langsung dirampas, anak cenderung akan tantrum,” tukasnya. (ISM)
…